Kemarin saya hadir di acara Tutur Tanah Air. Acara keren, memadukan penuturan sejarah dan alunan musik jazz, yang kali ini mengangkat tema “Istana Bogor dan Kebun Raya” dan merupakan kali kedua setelah kegiatan serupa diadakan tahun lalu. Kali ini, Tutur Tanah Air menghadirkan Endang Sumitra, SH, kepala sub bagian rumah tangga istana dan Idang Rasjidi, musisi jazz kenamaan. Kemasannya asyik, ada pemaparan, diskusi, baca puisi dan tentu saja lagu.
Tutur Tanah Air digagas berangkat dari keinginan menanamkan kecintaan generasi muda kepada kotanya, sebelum bicara mengenai kecintaan yang lebih luas yaitu cinta terhadap negeri ini. Bogor memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, jadi layaklah jika kita bangga sebagai warganya. Begitulah yang disampaikan oleh Idang Rasjidi, yang hari Minggu lalu berulang tahun.
Bicara mengenai Idang Rasjidi selalu mengingatkan saya akan masa kecil. Dulu, saya harus lompat jendela kamar setiap kali pulang numpang ke rumah tetangga menonton ia tampil di televisi. Selamat ulang tahun, bang. Sehatlah selalu.
Sejarah istana Bogor dan Kebun Raya bisa dibaca di banyak sumber, tapi pemaparan oleh karyawan istana yang sudah turun temurun selama empat generasi bertugas di sana tentu asyik disimak. Ada beberapa hal yang baru saya ketahui setelah tinggal di kota ini selama lebih dari 20 tahun. Salah satunya adalah letak tanda nol kilometer, yang karena awalnya ada di lingkungan istana dan tak semua orang bisa masuk ke dalamnya, kini ada di ujung trotoar di depan Hotel Salak. Ah, ke mana saja saya selama ini!
Dari diskusi itu juga saya jadi tahu bahwa ada pilar yang diruntuhkan karena berbau kolonial. Tunggu dulu. Bukankah istana itu juga berbau kolonial? Pemugaran dan pemusnahan bangunan tua juga terjadi di tempat-tempat lain di negeri ini. Sayang sekali. Negara lain tetap mempertahankan bangunan warisan penjajah dan mereka baik-baik saja, bukan?
Saya jadi ingat perbincangan dengan seorang teman beberapa waktu lalu. Ketika menyinggung mengenai sikap dan mentalitas negatif, teman saya itu kukuh pada pendiriannya bahwa semua itu warisan kolonial. Kolonial sudah lama pergi tapi kita tidak memperbaiki diri. Barangkali karena lebih mudah membongkar sesuatu yang terlihat dibanding hal-hal yang ada dalam pikiran. Entahlah.
Tutur Tanah Air kali ini dihadiri siswa dan guru beberapa SMP dan SMA di Bogor, selain masyarakat umum tentunya. Sesuai tujuan diadakannya kegiatan ini, sebenarnya pembawa acara tidak sepenuhnya salah juga ketika menyebutnya tutur tinular, karena memang diharapkan acara ini ditularkan ke sekolah-sekolah. Akan sangat menyenangkan jika mereka bisa mengadakan acara bermuatan sejarah yang dikemas dengan apik dan menarik.
Ini sebagian dari yang hadir.

Informasi lengkap mengenai kegiatan ini bisa dilihat di tuturtanahair.com atau ikuti akun twitter @tuturtanahair.